Oleh Redaksi PLPK
Kalau mendengar kata forensik, biasanya yang
ada dipikiran kita berkaitan dengan bidang kedokteran, yang
dijadikan sebagai bahan (bukti) kesaksian saat terjadi sengketa di pengadilan. Forensik sendiri adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan
untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu
atau sains. Akuntansi forensik pada awalnya digunakan untuk
mengukur harta warisan dan untuk mengungkap kasus keuangan seperti korupsi.
Skandal-skandal keuangan yang ada membuat hilangnya kepercayaan publik terhadap
akuntan, padahal ilmu akuntansi sangat penting bagi perusahaan. Karena
banyaknya kecurangan-kecurangan (fraud) yang terjadi menyebabkan akuntansi
dipandang sebelah mata, sehingga para akuntan mencari jalan keluar dengan
mengeluarkan akuntansi forensik. Di akuntansi forensik ini, data-data yang ada
diolah lagi. Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti
luas, termasuk auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam
atau di luar pengadilan, di sektor publik maupun privat.
Tuanakotta
(2010) mengeluarkan istilah-istilah sederhana tentang penyebab terjadinya
kecurangan yaitu dengan menggunakan Segitiga Akuntansi Forensik.
1. Tekanan (Pressure)
yaitu dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan (fraud).
2. Kesempatan
(Opportunity) yaitu kecurangan terjadi karena internal kontrol yang kurang
baik.
3. Rasionalisasi
(Rasionalitation) yaitu alasan pembenaran atas perbuatan kecurangan (fraud).
Contohnya beralasan untuk membahagiakan keluarga.
Sejarah Akuntansi Forensik di Indonesia
Akuntansi
forensik menjadi perbincangan hangat di Indonesia beberapa tahun belakang ini.
Awal mulanya adalah pada bulan Oktober 1997, Indonesia telah menjajaki kemungkinan untuk meminjam dana dari IMF dan
World Bank untuk menangani krisis keuangan yang semakin parah. Sebagai
prasayarat pemberian bantuan, IMF dan World Bank mengharuskan adanya proses
Agreed Upon Due Dilligence (ADDP) yang dikerjakan oleh akuntan asing dibantu
beberapa akuntan Indonesia. Temuan ADDP ini sangat mengejutkan karena dari sampel Bank Besar di
Indonesia menunjukkan perbankan kita melakuan overstatement asset sebesar
28%-75% dan understatement kewajiban sebesar 3%-33%. Temuan ini segera membuat
panik pasar dan pemerintah yang berujung pada likuidasi 16 bank swasta.
Likuidasi tersebut kemudian diingat menjadi langkah yang buruk karena
menyebabkan adanya penarikan besar-besaran dana (Rush) tabungan dan deposito di
bank-bank swasta karena hancurnya kepercayaan publik pada pembukuan perbankan.
ADPP tersebut tidak lain dari penerapan akuntansi forensik atau audit
investigatif.
Istilah akuntansi forensik kembali mencuat setelah
keberhasilan Price waterhouse Coopers (PwC) sebuah kantor Akuntan Besar dunia
(The Big Four) dalam membongkar kasus Bank Bali pada tahun 1999. PwC dengan
software khususnya mampu menunjukkan arus dana yang rumit berbentuk seperi
diagram cahaya yang mencuat dari matahari (sunburst). Kemudian PwC meringkasnya
menjadi arus dana dari orang-orang tertentu. 5 Metode yang digunakan dalam audit
tersebut adalah follow the money atau mengikuti aliran uang hasil korupsi Bank
Bali dan in depth interview yang kemudian mengarahkan kepada para pejabat dan
pengusaha yang terlibat dalam kasus ini. Pada tahun 2009, kasus PT Bank
Century, Tbk menemukan kejelasan dari Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi
Bank Century oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hasil kinerja para akuntan forensic dan audit investigasi badan tersebut.
Inilah yang dimaksud dengan akuntansi forensik, akuntansi yang akurat (cocok) untuk
tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan
selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau
administratif.
Hingga saat ini pendekatan akuntansi forensik banyak
digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan, Bank Dunia, dan Kantor-kantor Akuntan Publik di
Indonesia
.
Perkembangan akuntansi forensik di Indonesia cukup maju,
namun jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain maka Indonesia masih
dibilang tertinggal. Australia saat ini sedang menyusun Standar Akuntansi
Forensik, sementara Kanada dan Amerika Serikat sudah memiliki standar yang
baku, sedangkan Indonesia sama sekali belum memiliki standar yang memadai.
Sejauh ini belum banyak kasus-kasus korupsi yang terkuak berkat kemampuan
akuntan forensik, namun akuntansi forensik merupakan suatu pengembangan
disiplin ilmu akuntansi yang masih tergolong muda dan memiliki prospek yang
sangat bagus dalam pemecahan tindak pidana korupsi di Indonesia. Di Indonesia
masih menyukai audit konvensional, karena masih banyak kecurangan-kecurangan
seperti korupsi dan audit konvensional sudah dianggap cukup untuk menangi
kecurangan-kecurangan yang ada.
Perbedaan akuntansi forensik dan audit konvesional
§ Perbedaaan
utama akuntansi forensik dengan akuntansi maupun audit konvensional lebih
terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis akuntansi
tersebut tidak jauh berbeda. Akuntasi forensik lebih menekankan pada keanehan
(exceptions, oddities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct)
daripada kesalahan (errors) dan keteledoran (ommisions) seperti pada audit
umum.
§ Prosedur
utama dalam akuntansi forensik menekankan pada analytical review dan teknik
wawancara mendalam (in depth interview) walaupun seringkali masih juga
menggunakan teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi,
konfirmasi dan lain sebagainya.
§ Akuntansi
forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan, atau
pengeluaran tertentu) yang ditengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari
laporan pihak dalam atau orang ketiga (tip off) atau, petunjuk terjadinya
kecurangan (red flags), petunjuk lainnya. Data menunjukkan bahwa sebagian besar
tindak kecurangan terbongkar karena tip off dan ketidaksengajaan (accident).
Agar
dapat membongkar terjadinya fraud (kecurangan) maka seorang akuntan forensik
harus mempunyai pengetahuan dasar akuntansi dan audit yang kuat, pengenalan
perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behaviour), pengetahuan
tentang aspek yang mendorong terjadinya kecurangan (incentive, pressure,
attitudes, rationalization, opportunities) pengetahuan tentang hukum dan
peraturan (standar bukti keuangan dan bukti hukum), pengetahuan tentang
kriminologi dan viktimologi (profiling) pemahaman terhadap pengendalian
internal, dan kemampuan berpikir seperti pencuri (think as a theft).
Jadi jelas bahwa akuntansi forensik adalah penggunaan
keahlian di bidang audit dan akuntansi yang dipadu dengan kemampuan
investigatif untuk memecahkan suatu masalah atau sengketa
keuangan atau dugaan fraud yang pada akhirnya akan diputuskan oleh pengadilan/
arbitrase/ tempat penyelesaian perkara lainnya. Kasus korupsi, sebagai contoh,
pada dasarnya adalah sengketa keuangan antara Negara melawan warganya yang
secara resmi telah ditunjuk untuk mengelola pemerintahan. Persengketaan itu
harus diselidiki kebenarannya oleh Lembaga Negara (misalnya oleh KPK) dan
diputuskan oleh hakim di pengadilan. Jadi investigasi yang dilakukan oleh para
Akuntan di BPKP, BPK, KPK dan instansi penegak hukum lainnya pada hakikatnya
adalah sebagian tugas-tugas akuntan forensik. Perbedaan antara audit
konvensional dan akuntansi forensik yaitu pada audit konvensional mengecek
bukti fisik, seperti mengecek stock opname sedangkan akuntansi forensik
diselidiki pola perilaku dan pola perilaku organisasinya.
Terimakasih Sharingnya, sangat bermanfaat
BalasHapusUntuk pembahasan mengenai, akuntansi forensik mungkin link berikut bisa menjadi tambahan referensi
https://www.krishandsoftware.com/blog/1749/pengertian-akuntansi-forensik/