WE.CO.ID, Pekanbaru - Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri
mengatakan bahwa anak cucu bangsa Indonesia akan kembali menanggung
beban hutang yang dibuat negara sebesar US$4 miliar.
"Hutang sebesar US$4 miliar itu adalah hutang yang dibuat pemerintah tahun 2014, tentunya akan dicicil hingga 20 tahun lebih dan konsekuensinya yang bertanggungjawab membayar pelunasan hutang itu adalah anak cucu generasi mendatang," ujar Faisal, Jumat (24/1/2014), di Pekanbaru, Riau.
Berbicara dalam diskusi forum green ekonomi bertema "tren dan tantangan ekonomi berbasis ramah lingkungan" digelar Green Radio 96,7 FM Pekanbaru itu, menurut Faisal berbeda halnya dengan kebijakan pemerintah Timur Leste.
Ia mengatakan, peneriman minyak Pemerintah Timur Leste mecapai US$2,5 miliar dimana US$200 juta dipakai untuk operasional negara dan untuk kebutuhan lainnya, sedangkan sisanya sebesar US$14 miliar ditabung.
"Tabungan ini tentunya digunakan untuk jaga-jaga jika kopi dan sawit mereka umpamanya mengalami anjlok produksi,"katanya dan menambahkan bahwa Timur Leste telah memiliki simpanan dana kemakmuran.
Berbeda halnya dengan Indonesia, contoh kasus SDA minyak Riau terus dikeruk, yang padahal terbentuknya minyak itu membutuhkan jutaan tahun. Kemudian kita tidak punya tabungan dan mengutang ke negara lain artinya ini adalah dosa generasi sekarang yang menanggung tentunya generasi mendatang.
"Seharusnya, Riau sebagai daerah penghasil Migas misalnya sudah harus berfikir tidak akan menghabiskan SDAnya untuk sekarang saja namun demikian perlu juga dipikirkan untuk generasi mendatang," katanya.
Apalagi minyak di Riau sebentar lagi akan habis dan terus digali semakin dalam tentunya ongkosnya akan makin mahal oleh karena itu saatnya Riau berfikir mensubstitusikannya dengan minyak sawit sebagai pengganti Migas tersebut.
Ia memandang bahwa Riau perlu mendorong upaya transformasi perekonomain ekstraktif ke perekonomian industrial antara lain membatasi perluasan lahan dan lebih mendorong ekonomi berkelanjutan dalam prespektif yang komprehensif.
"Riau perlu membuat stok opname kekayaan SDA tidak lagi Migas yang dikeruk lalu dijual mentah-mentah, begitu pula dengan sawit jual mentah lalu kayu ditebang dan dijual mentah mentah," katanya prilaku ini tentu berdampak kekayaan alam di Riau akan makin berkurang.
Padahal tiap kebijakan pembangunan tidak boleh terjadinya pemiskinan di daerah dengan demikian royalti setidaknya 50 persen kembali harus diterima daerah.
Faisal menambahkan, PDRB Riau memang tertinggi di Indonesia akan tetapi tidak perlu lagi terpukau hanya pada PDRB tersebut melainkan pada pendapatan netto yang seharusnya sudah bisa dinikmati oleh penduduknya. (Ant)
"Hutang sebesar US$4 miliar itu adalah hutang yang dibuat pemerintah tahun 2014, tentunya akan dicicil hingga 20 tahun lebih dan konsekuensinya yang bertanggungjawab membayar pelunasan hutang itu adalah anak cucu generasi mendatang," ujar Faisal, Jumat (24/1/2014), di Pekanbaru, Riau.
Berbicara dalam diskusi forum green ekonomi bertema "tren dan tantangan ekonomi berbasis ramah lingkungan" digelar Green Radio 96,7 FM Pekanbaru itu, menurut Faisal berbeda halnya dengan kebijakan pemerintah Timur Leste.
Ia mengatakan, peneriman minyak Pemerintah Timur Leste mecapai US$2,5 miliar dimana US$200 juta dipakai untuk operasional negara dan untuk kebutuhan lainnya, sedangkan sisanya sebesar US$14 miliar ditabung.
"Tabungan ini tentunya digunakan untuk jaga-jaga jika kopi dan sawit mereka umpamanya mengalami anjlok produksi,"katanya dan menambahkan bahwa Timur Leste telah memiliki simpanan dana kemakmuran.
Berbeda halnya dengan Indonesia, contoh kasus SDA minyak Riau terus dikeruk, yang padahal terbentuknya minyak itu membutuhkan jutaan tahun. Kemudian kita tidak punya tabungan dan mengutang ke negara lain artinya ini adalah dosa generasi sekarang yang menanggung tentunya generasi mendatang.
"Seharusnya, Riau sebagai daerah penghasil Migas misalnya sudah harus berfikir tidak akan menghabiskan SDAnya untuk sekarang saja namun demikian perlu juga dipikirkan untuk generasi mendatang," katanya.
Apalagi minyak di Riau sebentar lagi akan habis dan terus digali semakin dalam tentunya ongkosnya akan makin mahal oleh karena itu saatnya Riau berfikir mensubstitusikannya dengan minyak sawit sebagai pengganti Migas tersebut.
Ia memandang bahwa Riau perlu mendorong upaya transformasi perekonomain ekstraktif ke perekonomian industrial antara lain membatasi perluasan lahan dan lebih mendorong ekonomi berkelanjutan dalam prespektif yang komprehensif.
"Riau perlu membuat stok opname kekayaan SDA tidak lagi Migas yang dikeruk lalu dijual mentah-mentah, begitu pula dengan sawit jual mentah lalu kayu ditebang dan dijual mentah mentah," katanya prilaku ini tentu berdampak kekayaan alam di Riau akan makin berkurang.
Padahal tiap kebijakan pembangunan tidak boleh terjadinya pemiskinan di daerah dengan demikian royalti setidaknya 50 persen kembali harus diterima daerah.
Faisal menambahkan, PDRB Riau memang tertinggi di Indonesia akan tetapi tidak perlu lagi terpukau hanya pada PDRB tersebut melainkan pada pendapatan netto yang seharusnya sudah bisa dinikmati oleh penduduknya. (Ant)
Redaksi
0 comments:
Posting Komentar